Senin, Juni 24, 2013

Bagiku… Ini adalah Sekolah Dambaanku!


       Hi guys, kali ini aku ikutan Blog Competition lhoo dari Youth Educators Sharing Network (Youth ESN) yaitu jaringan pendidik muda yang peduli terhadap masa depan Indonesia. Youth ESN ini akan membuat program di beberapa daerah yang fokus kepada pendidikan, menginspirasi orang lain untuk menjadi pendidik dengan apa pun latar belakang pendidikan mereka. Waaah, salut ya buat Youth ESN,keliatan para anggotanya masih muda-muda tuh, tapi sudah mempunyai visi yang jauh kedepan. Apalagi, yang kita tahu dunia pendidikan kita, masih belum seperti yang kita harapkan, masih banyak yang perlu diperbaiki dari berbagai aspeknya. Semoga saja Youth ESN dapat mewujudkan cita-citanya untuk pendidikan di negeri kita. Amiin!

Nah Blog Competition ini mengusung tema “Sekolah Dambaanku”, dimana para kompetitor dapat menyinggung min 4 dari 8 aspek yang diangkat yaitu :Guru, Fasilitas dan lingkungan sekolah, Hubungan guru dan orang tua, Mata pelajaran, Tugas dan pekerjaan rumah, Hubungan antar siswa, Bentuk ujian kelulusan,dan Harapan untuk pendidikan Indonesia ke depan. Wah aku jadi sulit nih memilih aspek-aspek diatas, karena bagiku semuanya bagus dan penting buat dibahaskan di blog ini. Tapi aku kira, gak perlu lah smuanya, ntar dikirain kebanyakan lagi. Lagi pula aku baru melihat brosur lombanya di Twitter dua hari yang lalu Bimbang ikut atau tidak, dan aku memutuskan berpartisipasi. Jadi aku harus mempersiapkan ini dengan waktu yang singkat. Gimana deadlinenya tanggal 25 Juni besok lagi, aku jadi tergesa-gesa dalam semangat yang membara cetar membahana. Hihihihi… ;)

Maka dari itu aku hanya akan mengangkat 5 aspek saja, karena aspek-aspek ini Aku kira lebih penting buat di bahas. Apa sih aspek yang aku pilih?? Tapi sebentar dulu masih ada waktu lo buat teman-teman yang mau ikutan Blog Competition ini!




Bagiku… Ini adalah Sekolah Dambaanku!

Aku  adalah seorang pelajar SMA di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang sebentar lagi akan naik ke kelas XII. Masa-masa sekolah yang telah aku lewati begitu tidak terasa , karena satu tahun lagi aku akan melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Banyak pengalaman yang aku  dapatkan  selama aku bersekolah sejak SD-SMA, sehingga aku telah mengenal betul sudut pandang sekolah.

Bagi sebagian orang, memang sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu, tapi bagiku terlebih sekolah adalah tempat kita belajar. Karena sebenarnya disana aku tidak hanya belajar mata pelajaran saja, tapi aku belajar banyak hal, belajar menghargai orang lain, jujur, toleransi, tanggung jawab, etika sopan santun, dan sebagainya. Jika sekolah hanya untuk menuntut ilmu pengetahuan (aptitude), bagiku sekolah itu sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa, karena tidak mengedepankan belajar dalam  perilaku/karakter (attitude). Tetapi sekolah harus mengasilkan lulusan SDM yang memiliki keseimbangan antara attitude dan aptitude tadi.

Akhir-akhir ini di televisi, berita tentang pejabat-pejabat negara dan elite politik didakwa dan disidang karena tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasti mereka adalah kaum terdidik yang mengenyam pendidikan tinggi, yang memang telah memiliki track record dan prestasi sehingga dapat menduduki jabatan  yang terhormat berkat modal ilmu pengetahuan. Namun karir yang telah mereka capai dengan keringat itu, akhirnya lenyap karena tamak dan mengambil hak orang lain yang bukan miliknya. Maka sangat disayangkan ilmu pengetahuan yang tinggi, didak dibarengi dengan sikap/karakter yang mulia.

Maka dari itulah aku sangat setuju dalam kurikulum 2013 kita saat ini, memasukkan pendidikan karakter sebagai bahan pembelajaran disekolah. Sehingga diharapkan sekolah benar-banar dapat  dikatakan menghasilkan lulusan yang diharapkan oleh bangsa dan negara ini.

Tapi tak lepas dari peran sekolah tadi, sekolah harus mampu menjadi “Sekolah Dambaan” setiap peserta didik disekolah itu bukan? Termasuk “sekolah dambaanku” dan sekolah dambaan teman-teman juga! So, mau tau gak bagaimana kriteria yang menjadi “Sekolah Dambaanku”. Yuk kita baca aspek-aspek ini!.

1.     Guru
Dimataku profesi seorang guru itu sangat mulia sekali. Aku adalah salah seorang yang begitu membanggakan guru. Pertama, hal yang menurutku paling  penting untuk dibahas dalam aspek ini adalah “Hubungan antara guru dan siswa”. Dimata guru ada siswa yang baik, ada juga yang tidak. Begitu juga sebaliknya, bagi siswa ada guru yang baik dan tidak dimatanya. Guru yang baik dapat dilihat dari berbagai aspek, begitu juga guru yang buruk. Ketika kita berkomentar tentang seorang guru, maka masing-masing dari kita akan akan beropini yang berbeda. Karena setiap siswa mempunyai pengalaman berbeda tentang gurunya. Hubungan baik antara guru dan siswanya harus dijaga oleh keduanya, terlebih seorang guru memiliki tanggung jawab begitu besar terhadap anak didiknya. Seorang guru harus tahu betul posisinya sebagai pengajar dan pendidik, pengajar untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan pendidik untuk memberikan contoh perilaku baik, nilai-nilai moral dan keteladanan pada anak didiknya.

Kedua, Guru adalah faktor utama penentu keberhasilan siswa yang belajar disekolah. Dengan syarat harus menjadi guru favorit siswanya. Dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di Tanah Air, guru menjadi tonggak penting penentu kualitas anak didik. Terkait kualitas guru, menurut data tahun 2009/2010, hanya 24 persen dari 1,4 juta guru SD yang berijazah sarjana. Tidak hanya kulifikasi, distribusi guru juga tak merata. Luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya daerah yang minim akses, mengakibatkan ketersediaan tenaga guru menumpuk di daerah-daerah tertentu. Hal ini kembali menjadi tantangan bagi pendidikan bangsa kita, khususnya buat Youth ESN nih.

Minimnya tenaga guru diberbagai daerah khususnya di Kalimantan Barat dipicu oleh sistem yang kurang baik, terutama pendidtribusian guru. Para guru enggan bertugas di daerah terpencil di Kalimantan Barat karena alasan keamanan, fasilitas dan kesejahteraan yang rendah. Sungguh aku sedih, karena saudara-saudaraku di pelosok kabupaten sana masih belum terjangkau oleh guru-guru yang berkualitas. Nah, aku mendapatkan referensi dari kesekolah.com dimana aku sangat setuju sekali karakteristik guru di abad ke 21, yang menjadi favorit siswa. Pertama Adaptation, guru harus mampu beradaptasi dengan keadaan dan kondisi kelas dan anak didiknya dalam segala situasi dan kondisi. Kedua, Communicator, Komunikasi selalu menjadi hal dasar untuk semua orang di semua umur dan segala bidang. Ketiga Learner, guru sebagai pengajar harus selalu meng update skill, pengetahuan, teknologi dan perkembangan yang ada, sehingga dia bisa mengimbangi anak didiknya yang selalu up to date dan cepat menyerap pengetahuan dan informasi yang terjadi di sekelilingnya, secara lokal maupun global. Keempat Visionary, guru harus bisa mendefinisikan visinya dan selalu melihat ke depan secara optimis. Kelima Leader, seorang guru harus memiliki kemampuan untuk mendidik dan memimpin anak didiknya, mengarahkan bakat dan talenta sehingga dapat diexplorasi dengan maksimal. Keenam Model, guru selalu menjadi figure atau panutan bagi anak didiknya. Ketujuh Collaborator, berkolaborasi atau bekerja sama untuk belajar dan mengerjakan segala sesuatu bersama anak didik menjadi hal yang tidak bisa diabaikan oleh seorang guru. Kedelapan Risk Taker seorang guru harus berani mengambil resiko. Nah jadi, “Sekolah Dambaanku” adalah sekolah yang menyediakan guru yang mampu bersaing dengan guru yang lain, dengan menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidik yang baik, berkualitas dan yang favorit disekolahku.

2.     Hubungan Guru dan Orang Tua
Hubungan antara guru dan orang tua tidak lebih adalah mengenai bagaimana kondisi perkembangan anak didiknya disekolah. Jangan menjadikan hubungan orang tua hanya sebatas yang berkaitan dengan administrasi dan komite sekolah. Kasus seperti anak didik yang membolos, merokok, menggunakan narkoba, dan terlibat kericuhan adalah contoh nyata dari kurangnya interaksi dan sinergi antara sekolah,  guru dan orang tua murid. Selama berada disekolah anak didik menjadi tanggung jawab guru dan sekolah, namun setelah berada dirumah/ diluar sekolah maka anak didik itu menjadi tanggung jawab orang tuanya. Karena hakikatnya sekolah adalah tempat orang tuanya menitipkan anaknya untuk belajar.

Berkaitan dalam hal pendidikan, guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar dan pendidik tapi sebagai pengawas. Didalam pelajaran guru harus mengawasi perilaku dan kemampuan akademik anak didiknya, bagaimana kemampuan yang dimiliki anak didiknya, apakah ada perubahan naik atau turun, jika terjadi penurunan, mengapa hal itu bisa terjadi. Maka, ini adalah tugas guru dan orang tua untuk bersinergi agar kedunya dapat memecahkan masalah itu.

Selain itu, misalnya jika ada kelihatan tingkah anak didiknya yang tidak seperti biasanya, tidak masuk sekolah tanpa keterangan atau melanggar aturan,  guru berhak mengubungi orang tuanya baik melalui telefon atau bertemu disekolah. Jangan sampai ketika kasus besar sudah terjadi orang tua baru dipanggil ke sekolah untuk menyelesaikannya, itu telat!.

Tapi tanggung jawab orang tua lebih besar dari seorang guru, kapan dan dimanapun orang tua harus tetap mengawasi. Ketika dirumah orang tua juga perlu menanyakan apakah anaknya mempunyai PR atau tidak, bagaimana keadaannya disekolah apakah baik-baik saja, atau sedang mengalami masalah dengan teman atau gurunya. Selain itu, ketika dirumah orang tua dapat memanfaatkan waktu senggang untuk berbincang mengenai masa depan buah hatinya, entah itu mengenai melanjutkan sekolah/perguruan tinggi favorit, atau sarana penunjang dalam belajar. Maka dari itu, “Sekolah DambaanKu” adalah sekolah yang dapat menjadi wadah interaksi hubungan antara guru dan orang tua murid, sekolah yang selalu melayani kemauan baik antara murid, guru, dan orang tua murid.


3.     Fasilitas dan Lingkungan Sekolah
Mungkin dari kita, apakah diantar jemput ke sekolah oleh sopir?. Atau menggunakan sepeda motor pribadi?. Atau diantar jemput oleh orang tua? Aku ingin mengajak, ayo kita harus bersyukur kepada Tuhan atas apa diberikanNya sekarang!. 
Aku pernah melihat di suatu acara televisi, di sebuah desa sekumpulan anak SD yang berangkat kesekolah harus menyebrangi jembatan gantung yang hampir putus diatas sungai yang deras. Langkah demi langkah mereka meniti kawat baja yang rapuh dimakan usia, seolah tak peduli lagi dengan nyawa. Jika saja jembatan itu tak kuat menahan beban meraka, entah tak bisa kubayangkan nasib mereka.

Sumber Ilustrasi : ngebir.blogspot.com


Ada juga mereka yang rela menyebrangi sungai dengan seragam yang basah demi untuk bersekolah.  Tas mereka diangkat ke atas supaya buku-buku pelajaran mereka tak basah. Bayangkan ketika sampai disekolah, apakah seragam meraka langsung kering? tidak. Mereka harus belajar dengan keaadaan basah kuyub.  Apakah mereka nyaman dan tenang belajar seprti itu? Entahlah, tapi jujur saja Aku tak bisa seperti mereka! Mereka seperti tak merasakan apa-apa, malah menunjukan semangat belajar yang gigih ketika saat itu mereka belajar matematika.

Lain lagi, di televisi sudah biasa aku menonton tentang sekolah-sekolah yang  fasilitas dan lingkungannya yang buruk dan tak layak, dimana keadaan ini lebih sering kulihat di desa-desa yang terpelosok atau bahkan mungkin masih ada di kota. Bagimana para murid-murid disana bisa semangat belajar dan begitu aktif. Padahal mereka hanya belajar diatas meja kayu yang rapuh, diatas tanah yang gersang tanpa alas kaki, bahkan becek ketika musim hujan tiba. Sekolah mereka bukan seperti sekolahku yang bagus dan lengkap, namun sekolah mereka bisa disebut gubuk yang ditutup dengan anyaman bambu dan sedikit kain. Jelas, tak ada seperti disekolahku white board apalagi infokus disana, tapi hanya menggunakan batu kapur diatas papan hitam yang sudah terkelupas kulitnya. Jika setiap jam pelajaran habis, maka pelajaran selanjutnya pun harus diganti dengan guru yang berbeda, tapi disekolah mereka tidak, guru mereka hanya satu, aku tak bohong!. Namun lagi-lagi bagaimana semangat belajar mereka, sangat jarang kutemui di kota bahkan disekolahku sekalipun.  Inilah bukti nyata pendidikan di negeri kita, sungguh sedih dibuatnya, bukan?.

Kita dan orang lain diluar sana mungkin tak berniat menyamakan sekolah didesa dan di kota. Tapi, system pendidikan kita telah menyamakan keadaan ini seperti bumi dengan langit. Hal ini terbukti, sebuah ketidakadilan dunia pendidikan kita telah menyamakannya dengan apa yang terjadi dalam UN (Ujian Nasional) dengan banyak carut marutnya itu. Semua anak bangsa yang mengikuti UN dalam jenjangnya, harus dihadapkan dengan soal UN yang sama, tak terkecuali mereka dipelosok kampung sana. Jika melihat keadaan miris diatas, dengan fasilitas dan lingkungan belajar yang jauh berbeda, apakah kita bisa menyamakan mereka dengan kualitas dan kuantitasnya masing-masing? Sudah pasti tak sama!.

Berhubung dengan tema “Sekolah DambaanKu”,  jika membayangkan keinginanku yang begitu banyak ini, ingin sekali sekolahku mempunyai sarana dan prasarana ini itu, seperti yang disana seperti yang disini, apapun yang tak ada rasanya ingin segera dimiliki. Seolah tak pernah puas. Sehingga, ketika kembali mengingat pemandangan yang miris diatas, rasanya aku ingin bersyukur atas apa yang aku miliki saat ini, bagaimana sekolahku dapat memberikan fasilitas yang menunjang, lingkungan sekolah yang aman dan nyaman.  Maka, aku memutuskan  “Sekolah Dambaanku” adalah sekolah yang dapat memberikan rasa aman, nyaman dan damai, sekolah yang dapat memberikan rasa semangat dan antusias untuk belajar seperti saudara-saudaraku diatas yang semangatnya untuk belajar begitu mengharukan, bagaimanapun keadaan sekolah itu. Bagiku tak ada gunanya sekolah yang menunjang lengkap dalam hal fasilitas dan lingkungan yang nyaman, namun tak bisa memberikan rasa semangatku untuk belajar dan hanya membuat bosan dengan keadaan disekolah.

4.     Bentuk Ujian Kelulusan
Aku percaya, orang tua, guru, pemerintah dan anak didik mempunyai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan generasi muda. Sebab hanya kecerdasan dan ilmu pengetahuan itulah yang dapat meningkatkan kemajuan bangsa dan negara ini. Maka dijadikanlah UN sebagai agenda wajib tahunan pemerintah melaui Kemdikbud, untuk mengukur dan menilai kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hasil UN tersebut digunakan sebagai penentuan kelulusan peserta didik dari tiap satuan pendidikan, pemetaan mutu program satuan pendidikan dan dasar seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Bagiku Ujian Nasional memang sangat penting untuk dilaksanakan, melihat tujuan dari UN diatas. Dalam 10 tahun terakhir bentuk ujian kelulusan ini mengalami perubahan dari yang kita kenal sebagai EBTANAS, UAN hingga saat ini menjadi UN. Seiring perubahan namanya, dengan tuntutan perkembangan global,  standar kelulusan juga mengalami perubahan dari tahun ke tahun.

Beberapa bulan yang lalu di media masa kita di hadapkan dengan berita tentang carut marut UN 2013, yang dinilai telah gagal. Mulai dari ketidakbecusan perusahaan percetakan pemenang tender, lembar soal yang tertukar, lembar jawaban yang tipis dan mudah robek, keterlambatan UN di 11 provinsi, adanya bocoran kunci jawaban yang diperjualbelikan,  hingga yang menyedihkan lagi adanya isu korupsi di Kementrian Pendidikan. Dan sebenarnya masih banyak carut marut UN ini, mulai dari masalah sistemis, teknis, filsofis hinga moralis.

Dalam aspek ini yang terpenting aku ingin menyinggung apa yang benar-benar menjadi masalah besar pelaksanaan Bentuk Ujian Kelulusan (UN) dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pertama adalah Ketidakadilan, ini adalah bukti nyata yang dapat dilihat dengan mata hati manusia normal. Kualitas dan kuantitas pendidikan di masing-masing wilayah di Indonesia jelas-jelas masih berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi sosial dan geografis di Indonesia. Kota-kota besar yang pasti telah mengalami kemajuan pesat dari berbagai bidang, apalagi dalam hal pendidikan. Sarana dan pra sarana pendidikan yang menunjang, lingkungan yang nyaman, tenaga pengajar yang berkulaitas, apalagi ditambah dengan mudahnya akses informasi dan komunikasi, dan kemajuan teknologi serta peralatan penunjang pendidikan lainnya.  

Jelas lah pendidikan di pedesaan kalah jauh dengan perkotaan. Sedangkan, kita tahu bahwa UN harus dilaksanakan serempak dari Sabang sampai Marauke dalam waktu yang sama menurut jenjangnya masing-masing. Tapi seperti apa yang aku singgung sebelumnya bahwa seluruh peserta UN mendapatkan soal dengan tingkat kesulitan yang sama pula. Sekolah yang ada di pelosok, pedesaan dengan sekolah yang berada di perkotaan mendapatkan soal yang sama. Sedangkan wilayah-wilayah tersebut jelas berbeda jika dilihat kualitas dan kuantitas dari banyak aspeknya. Pada akhirnya, standar hasil UN pun berbeda pula, kesempatan mereka yang ada didesa untuk melanjutkan pendidikan yang berkualitas tidak banyak jika dibandingkan dengan mereka yang sekolah di kota. Ini adalah bukti ketidakadilan, karena belum adanya pemerataan pendidikan di berbagai sekolah di seluruh Indonesia terlebih di desa dengan di kota. Maka ini belum dapat dikatakan sebagai Ujian Nasional, yang esensinya kualitas dan kuantitas pendidikan harus sama secara nasional terlebih dahulu.

Kedua dari permasalahan besar UN adalah Ketidakjujuran. Tujuan diadakannya Ujian Nasional adalah baik, yaitu untuk meningkatkan standar kualitas pendidikan di Indonesia. Namun yang terjadi pada pelaksanaanya banyak penyimpangan-penyimpangan dari aturan yang ditetapkan. Banyak pihak-pihak  yang menentang UN, mulai dari alasan sistemis, filosofis, teknis, hingga moralis. Lalu bagaimana menurut Youth ESN? Ah sudahlah! Hihihi.


Lihat saja para peserta UN dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak yang mengakui bahwa mereka mengetahui bahkan mendapatkan bocoran kunci jawaban UN . Kunci jawaban tersebut diperjual belikan oleh oknum yang mencari keuntungan. Siapa yang tak tahu adanya bocoran kunci jawaban yang diperjual belikan, sepertinya ku kira tak ada! Jika iman tak kuat, siapa yang tak mau menggunakan kunci jawaban demi mendapatkan nilai yang baik.  Aku kira tak sedikit dari mereka yang menggunakan kunci jawaban tersebut. Dampak buruk adanya kunci jawaban ini, yaitu hilangnya motivasi belajar, karena peserta didik akan menganggap tak perlu bersusah payah belajar dengan giat untuk mendapatkan nilai yang tinggi. 

Sumber : wonogiripos.com
Ketidakjujuran tidak saja dilakukan peserta didik, tapi terkadang juga dilakukan oleh pihak sekolah itu sendiri. Motif yang dilakukan dengan cara mendongkrak atau mengkatrol nilai siswanya dengan dalih agar semua siswanya dapat lulus 100 %.  Seperti yang kita tahu, untuk penentuan kelulusan sendiri, sekarang tidak berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) semata. Tetapi akumulasi dari nilai Ujian Nasional 60 % dan nilai Ujian Akhir Sekolah 40 % (60% nilai UAS dan 40% nilai Raport). Sehingga kewenangan sekolah juga diberikan dalam hal menentukan kelulusan siswa, maka dari jauh hari bisa saja sekolah dapat memberikan nilai yang tinggi tanpa melihat kapabilitas siswa yang sebenanya. Motif ini juga berasal dari adanya tekanan politik, kepala daerah yang menginstruksikan melalui kepala dinas kemudian kepala sekolah dan guru-guru dengan memberikan kunci jawaban. Yang pada akhirnya, suatu wilayah provinsi akan mencapai target persentase kelulusan yang tinggi untuk bersaing juga dengan provinsi lainnya.

Generasi yang berpendidikan adalah mereka yang mampu mengontrol keburukannya menjadi kebaikan. Apakah kita harus membiarkan hal ini tetap terjadi sampai UN tahun selanjutnya, jelas pasti tidak! Namun apa yang yang telah kita lihat pada pelaksanaan UN dalam beberapa tahun terakhir ini? Mencontek bocoran kunci jawaban mungkin sudah menjadi budaya tingkah laku dan pola pikir sebagian besar anak didik negeri ini. Rasanya, aku begitu malu jika bangsa lain melihat ini sebagai budaya pendidikan negriku. Jika saja dari kecil kita belajar tak jujur, maka kelak ketika dewasa kita akan  melakukan ketidakjujuran yang lebih besar, sepeti para koruptor tadi yang lahir dari ketidakjujuran. Apakah bangsa ini akan membuat anak negeri ini seperti koruptor, tidak kan!. Aku begitu sedih dengan ketidakjujuran pada pada generasi muda negeri ini, entah sampai kapan budaya buruk mencontek dan meluluskan siswa 100% tadi harus dibiarkan.


Akupun tak dapat berbuat apa-apa selain menanamkan sikap jujur dan tanggung jawab pada diriku sendiri. Jadi menurutku, UN itu tidak perlu ditiadakan tapi perlu diubah sistemnya agar penyelenggaraannya lebih adil dan jujur lagi. Terlebih dimulai dari individu peserta didik dan sekolah-sekolah yang jujur, itulah karakteristik “Sekolah Dambaanku”. 

5.     Harapan Untuk Pendidikan Indonesia Kedepan
Di abad ke 21 ini, lima, sepuluh hingga duapuluh tahun kedepan dunia pasti akan menghadapi tantangan perkembangan global. Lihat saja, pada tahun 2015 nanti, Indonesia akan bersaing di ASEAN Free Trade Area dalam perdagangan bebas produk dan jasa. Pada tahun 2012 yang lalu kita dikejutkan dengan pertumbuhan ekonomi terbaik Indonesia yang mencapai 6,7 persen, dan dikabarkan Indonesia menjadi pemimpin ekonomi terkuat di ASEAN dan ketiga di Asia setelah China dan India.

Pertumbuhan ekonomi ini, berkat arus konsumsi dan investasi yang menjadi mesin penggeraknya. Kita sadar, ujung tombak kemajuan suatu negara dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan perekonomiannya. Maka dari itu, pendidikan menjadi penting karena menjadi investasi jangka panjang untuk menghadapi berbagai kemungkinan tantangan di masa depan. Pendidikan yang baik dan berkulaitas akan melahirkan generasi bangsa yang memiliki SDM yang berkualitas, unggul dan produktif. Indonesia masih memiliki banyak SDA yang dapat dijadikan modal utama. Dengan SDM yang berkualitas, unggul dan prodiktif tadi maka seluruh SDA dapat digali dan dikelola untuk kesejahteraan masyarakat bersama. Dan seluruh elemen bangsa dan negara dapat bergerak bersama-sama untuk menuju ekonomi yang maju. Sehingga dalam menghadapi persaingan global kedepan, Indonesia telah siap dan mampu ungggul tidak hanya dalam ruang lingkup ASEAN saat ini, namun dalam tatanan global.

Pendidikan Indonesia saat ini memang  masih jauh dari harapan. Masih banyak impian pendidikan kita yang belum tercapai, baik itu prestasi, kreatifitas dan inovasi. Namun aku tetap bangga terhadap kemajuan-kemajuan dalam dunia pendidikan saat ini. Indonesia mampu unggul dalam beberapa olimpiade tingkat internasional, menurunnya angka buta huruf, dan menurunnya angka putus sekolah berkat adanya bantuan beasiswa dan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah.

Kita memang harus menjadi bangsa yang sabar tetapi harus tetap bergerak maju untuk mencapai harapan dan impian pendidikan ini. Pendidikan melalui sekolah-sekolah harus menghasilkan generasi platinum yang cakap ilmu pengetahuan, moral dan budaya.  Aku sangat percaya, dengan lahirnya SDM yang profesional tidak hanya dari kecakapan ilmu pengetahuan tapi moral dan budaya, bangsa ini pasti mampu melejit cepat menjadi aktor kekuatan ekonomi global dan menjadi negara yang maju. Disinilah peran pendidikan begitu penting guna menghadapi persaingan global tadi.

Maka, harapanku untuk pendidikan Indonesia kedepan adalah :

“Seluruh elemen bangsa baik itu pemerintah maupun rakyat harus menjadikan Pendidikan dengan moral, karakter dan budaya yang santun  sebagai keutamaan,  dijadikan yang terdepan, dan yang terpenting. Pendidikan harus mampu menyesuaikan dengan tantangan globalisasi, mampu melihat perspektif perkembangan dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan, sehingga investasi jangka panjang pendidikan yang kita tanam sejak dini, kelak berbuah manis, yang kapanpun dapat dijadikan modal anak negeri ini menjadi pemimpin dunia dimasa depan, Aku sangat percaya!!”